-->
Suatu Refleksi Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak
Dalam Upaya Memperbaharui dan Melestarikan Kebudayaan Batak Dalam Terang Firman Allah.
Oleh: Uhum,s Laoshi Tampoe*
I. Definisi Budaya.
Budaya adalah suatu cara hidup
yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan
dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit,
termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian,
bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan
orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya,
membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup
menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya
turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar
dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang
mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat
dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang
dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya
sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai
budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan
alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat
memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku
yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam
anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan
pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah
yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas
seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.
II. Pengertian Kebudayaan.
Kebudayaan sangat erat
hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski
mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan
oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Istilah untuk
pendapat itu adalah Cultural-Determinism.
Herskovits memandang
kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi
yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Menurut Andreas Eppink,
kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian nilai sosial,norma sosial, ilmu
pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan
lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang
menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward
Burnett Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya
terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Menurut
Selo Soemardjan dan Soelaiman Soemardi, kebudayaan adalah sarana hasil karya,
rasa, dan cipta masyarakat.
Dari
berbagai definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memPengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
III.
Ciri-ciri Kebudayaan.
Ciri-ciri khas kebudayaan adalah:
A.
Bersifat historis. Manusia membuat sejarah yang bergerak dinamis dan
selalu maju yang diwariskan secara turun temurun;
B.
Bersifat geografis. Kebudayaan manusia tidak selalu berjalan seragam, ada
yang berkembang pesat dan ada yang lamban, dan ada pula yang mandeg (stagnan)
yang nyaris berhenti kemajuannya. Dalam interaksi dengan lingkungan, kebudayaan
kemudian berkembang pada komunitas tertentu, dan lalu meluas dalam kesukuan dan
kebangsaan/ras. Kemudian kebudayaan itu meluas dan mencakup wilayah/regiona,
dan makin meluas dengan belahan-bumi. Puncaknya adalah kebudayaan kosmo
(duniawi) dalam era informasi dimana terjadi saling melebur dan berinteraksinya
kebudayaan-kebudayaan;
C.
Bersifat perwujudan nilai-nilai tertentu. Dalam perjalanan kebudayaan, manusia selalu berusaha
melampaui (batas) keterbatasannya. Di sinilah manusia terbentur pada nilai,
nilai yang mana, dan seberapa jauh nilai itu bisa dikembangkan? Sampai batas
mana?
IV. Hubungan Antara Gereja dan
Kebudayaan.
Dalam
sejarah gereja, hubungan antara gereja dan budaya telah mendapat perhatian
sejak awal sampai sekarang. Walaupun demikian, hubungan itu tidak berlangsung
cuma dalam satu model melainkan beranekaragam, tergantung pada sejauhmana kita
memahami apa itu gereja dan apa itu budaya.
Menurut
H.Richard Niebuhr, jika kita mencermati sejarah gereja (khususnya di Eropa dan
Amerika sampai pasca perang dunia kedua) maka ada sejumlah model/pola hubungan
gereja dan budaya yang bertolak dari bagaimana memahami hubungan gereja/Kristus
dan keabudayaan, sebagai berikut :
a. Kristus bertentangan dengan kebudayaan (Christ against
Culture).
Dalam
sikap ini orang kristen menentang kebudayaan, gereja tidak mau tahu terhadap
kebudayaan, sebab kebudayaan dianggap hanya membawa pengaruh negatif bagi
kekristenan dan gereja.
b. Kristus dari kebudayaan (Christ of Culture).
Sikap
ini berkeyakinan bahwa Kristuslah yang memiliki kebudayaan. Oleh karena itu
orang beriman harus berusaha menyesuaikan diri (toleran) dengan kebudayaan.
c. Kristus di atas kebudayaan (Christ above Culture).
Dalam
pemahaman seperti ini, Kristus dipandang sebagai yang menggenapi/menyempurnakan
kebudayaan. Namun Ia berbeda sama sekali dengan kebudayaan. Karena itu orang
kristen, gereja harus menghargai kebudayaan.
d. Kristus dan kebudayaan dalam paradoks (Christ and Culture
in paradox).
Sikap
ini berkeyakinan bahwa orang kristen, gereja hidup dalam dua “dunia” yang
berbeda secara asasi tetapi tidak dapat dipisahkan. Pada satu pihak orang
kristen, gereja hidup dalam Kerajaan Allah, namun pada pihak lain ia hidup
dalam “kebudayaan” masyarakat di mana dia ada.
e. Kristus pembaharu kebudayaan (Christ transforming
Culture).
Apa
yang dikemukakan Niebuhr di atas dalam tempo yang lama (bahkan sampai saat ini)
masih berpengaruh ketika berbicara tentang hubungan gereja dan kebudayaan,
walaupun untuk kepentingan masakini mesti dikritisi dengan bijak sebab konteks
telah berubah dan perkembangan pemikiran-pemikiran teologis juga terus terjadi
dan berkembang.
V. Sikap Iman Kristen Terhadap Kebudayaan.
Ada
5 macam sikap umat Kristien terhadap kebudayaan, yakni:
1.Antagonistis
atau oposisi
Sikap
antagonistis atau oposisi terhadap kebudayaan ialah sikap yang melihat pertentangan
yang tidak terdamaikan antara agama Kristen dan kebudayaan.Sebab akibatnya,
sikap ini menolak dan menyingkirkan kebudayaan pada semua ungkapannya. Gereja
dan umat beriman memang harus berkata tidak atau menolak ungkapan kebudayaan
tertentu, yakni kebudayaan yang ; 1. MenghinaTuhan 2. Menyembah berhala dan 3.
Yang merusak kemanusiaan.
2. Akomodasi
atau persetujuan
Kebalikan
dari sikap antagonis adalah mengakomodasi, menyetujui atau menyesuaikan diri
dengan kebudayaan yang ada. Terjadilah sinkritisme. Salah satu sikap demikian
ditujukan untuk membawa orang pada cara berfikir, cara hidup dan berkomunikasi
atau berhubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga seolah-olah semua
agama sama saja.
3. Dominasi
atau sintesis
Dalam
gereja yang mendasari ajarannya pada teologi Thomas Aquinas. Ia menganggap
bahwa sekalipun kejatuhan manusia kedalam dosa telah membuatcitra ilahinya
merosot pada dasarnya manusia tidak jatuh total, manusia masihmemiliki kehendak
bebas yang mandiri. Itulah sebabnya didalam menghadapi kebudayaan kafir
sekalipun, umat bias melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan
kafir itu sebagai bagian imam, namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan
oleh sakramen yang menjadi anugrah Ilahi.
4. Dualisme
atau pengutuban
Yang dimaksud dengan sikap dualistis atau pengutuban
terhadap kebudayaan ialah pendirian yang hendak memisahakan iman dari
kebudayaan ialah ; terdapatpada kehidupan kaum beriman kepercayaan kepada karya
Allah kepada TuhanYesus Kristus, namun manusia tetap berdiri didalam kebudayaan
kafir. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia berdosa menjadi
manusia yang hidup didalam iman tidak lagi berarti menghadapi kebudayaan.
5.Pengudusan
atau pertobatan
Sikap
pengudusan adalah sikap yang tidak menolak, namun tidak juga menerima, tetapi
sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia kedalam dosa tidak menghilangkan
kasih Allah atas manusia. Manusia dapat menerima kebudayaan selama hasil hasil itu
memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, mengasihi sesama dan kemanusiaan.
Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau keempat sikap budaya
yang salah satu itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan untuk menguduskan
kebudayaan itu, sehingga terjadi transformasi budaya kearah budaya yang, memuliakan Allah.
IV. Refleksi: Memandang dan Menyikapi Kebudayaan Batak Dalam
Upaya Memperbaharui dan Melestarikan Kebudayaan Batak Dalam Terang Firman Allah.
Kebudayaan
adalah prestasi atau hasil cipta, rasa, dan karsa manusia dalam alam ini.
Kemampuan untuk berprestasi/berkarya ini merupakan sikap hakiki yang hanya ada
pada manusia yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Karena itu sejak
penciptaan, manusia telah diberi amanat kebudayaan (Kej 1:26-30)
Namun
kejatuhan manusia dalam dosa telah menyebabkan manusia hanya mampu menghasilkan
kebudayaan yang menyimpang dari rencana Allah dan hanya demi kemuliaan diri
manusia sendiri (dari God-centered menjadi man-centered)
Manusia
lalu berusaha untuk mengisi keadaan kosong dalam hatinya dengan kebudayaan
(agama, ilmu dan teknologi, seks, hiburan, harta, kesalehan, kedudukan tinggi,
dll.) Namun kebudayaan manusia tidak akan pernah dapat memulihkan keadaan
manusia yang sudah jatuh dalam dosa. Pemulihan keadaan manusia dan
kebudayaannya terjadi ketika Anak Allah yang Tunggal turun ke dalam dunia untuk
menebus dosa manusia.
Awal kedatangan Injil Ke
Tanah (Jiwa) Batak
Begitu
lama suku bangsa Batak hidup terisolasi di Tanah Batak daerah bergunung-gunung
di pedalaman Sumatera Bagian Utara. Pada waktu yang ditentukanNya sendiri,
Allah mengirim hamba-hambaNya yaitu para missionaris dari Eropah untuk
memperkenalkan Injil kepada kakek-nenek (ompung) dan ayah-ibu kita yang
beragama dan berbudaya Batak itu. Mereka pun menerima Tuhan Yesus Kristus
sebagai Juruslamat. Mereka tidak lagi bergantung kepada dewa-dewa dan roh-roh
nenek moyang yang mati tetapi beriman kepada Allah Tritunggal (Bapa, Anak dan
Roh Kudus) yang hidup.Mereka berpindah dari gelap kepada terang, dari
keterbelakangan kepada kemajuan, dan terutama dari kematian kepada kehidupan
yang kekal.Injil telah dating dan merasuk ke Tanah Batak!
Namun
penerimaan kepada Kristus sebagai Tuhan. Raja dan .Juruslamat tidaklah membuat
warna kulit kakek-nenek kita berubah dari “sawo matang” menjadi “putih” (bule),
atau mengubah rambut mereka yang hitam menjadi pirang. Mereka tetap petani padi
dan bukan gandum, memakan nasi dan bukan roti, hidup di sekitar danau Toba dan
bukan di tepi sungai Rhein. Penerimaan Kristus itu juga tidak mengubah status
kebangsaan mereka dari “Batak” menjadi “Jerman”. Sewaktu menerima Injil dan
dibabtis dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus kakek-nenek dan ayah-ibu
kita tetaplah Batak dan hidup sebagai masyarakat agraris Sumatera dengan segala
dinamika dan pergumulannya. Para missionaris itu juga tidak berusaha mencabut
kakek-nenek dan ayah-ibu kita yang Kristen itu dari kebatakannya dan kehidupan
sehari-harinya. Bahkan mereka bersusah-payah menterjemahkan Alkitab ke dalam
bahasa Batak agar kakek-nenek kita dapat mengerti dan menghayati Firman Tuhan
itu dengan baik sekali. Selanjutnya melatih mereka memuji dan berdoa kepada
Kristus yang baru mereka kenal itu juga dengan bahasa Batak (baca: bukan
Inggris atau Yahudi).
Injil
itu kini juga sampai kepada kita sekarang. Sebagaimana kakek-nenek dan ayah-ibu
kita dahulu kita sekarang pun menerima dan mengakui Kristus sebagai Tuhan, Raja
dan Jurusiamat. Anak Allah yang hidup. Melalui iman kepada Kristus itulah kita
menerima hidup baru yang kekal, pengampunan, berkat, damai sejahtera Allah dan
Roh Kudus. (Yoh 3:16). Sama seperti kakek-nenek dan ayah-ibu kita dahulu. kita
yang sekarang pun mengalami bahwa babtisan dan kekristenan tidaklah mengubah
warna kulit kita dari sawo matang menjadi putih. Juga tidak mengubah kita dari
Batak-Indonesia menjadi Eropah-Amerika. Sebagai pengikut Kristus rupanya kita
tidak harus menjadi orang yang berbahasa dan berbudaya lain. Tidak ada bahasa
dan budaya atau status sosial tertentu yang mutlak menjamin kita lebih dekat
kepada Kristus. (Gal 3:28) tidak ada juga bahasa yang menghalangi kita datang
kepadaNya.
Firman
telah menjadi manusia sama seperti kita dan tinggal diantara kita (Yoh 1 :14).
ltu dapat diartikan bahwa Firman itu juga telah menjadi manusia Batak dan hidup
diantara kita orang yang berjiwa dan berkultur Batak juga. Sebab itu tidak ada
keragu-raguan kita untuk menyapa, memuji dan berdoa kepada Allah dengan bahasa,
idiom, terminologi, simbol, ritme, corak dan seluruh ekspressi kultur Batak
(termasuk lndonesia dan modernitas) kita Mengapa? Sebab Tuhan Yesus Kristus
lebih dulu datang menyapa kita dengan bahasa Batak yang sangat kita pahami dan
hayati.
Bagaimanakah
kita menyikapi tortor, gondang dan ulos Batak sebagai orang Kristen? Memang
harus diakui bahwa pada awalnya – jaman dahulu – tortor dan gondang adalah
merupakan ritual atau upacara keagamaan tradisional Batak yang belum mengenal
kekristenan. Harus kita akui dengan jujur bahwa leluhur kita yang belum Kristen
menggunakan seni tari dan musik tortor dan gondang itu untuk menyembah
dewa-dewanya dan roh-roh, selain membangun kebersamaan dan komunalitas mereka.
Disinilah kita sebagai orang Kristen ( sekaligus batak- Indonesia) harus
bersikap bijaksana, jujur, dan hati-hati serta kreatif. Kita komunitas Kristen
Batak sekarang mau menerima seni tari dan musik Tortor dan Gondang Batak
warisan leluhur pra kekristenan itu, namun dengan memberinya makna atau arti
yang baru. Tortor dan gondang tidak lagi sebagai sarana pemujaan dewa-dewa dan
roh-roh nenek moyang tetapi sebagai sarana mengungkapkan syukur dan sukacita
kepada Allah Bapa yang menciptakan langit dan bumi, Tuhan Yesus Kristus yang
menyelamatkan kita dari dosa, dan Roh kudus yang membaharui hidup dan
mendirikan gereja. Bentuknya mungkin masih sama namun isinya baru. Ini mirip
dengan apa yang dilakukan gereja purba dengan tradisi pohon natal. Pada awalnya
pohon terang itu adalah tradisi bangsa bangsa eropah yang belum mengenal
Kristus namun diberi isi yang baru, yaitu perayaan kelahiran Kristus. Begitu
juga dengan tradisi telur paskah, santa claus dll.
Dalam
Alkitab kita juga pernah menemukan problematika yang sama. Di gereja Korintus
pernah ada perdebatan yang sangat tajam apakah daging-daging sapi yang
dijual pasar (sebelumnya dipersembahkan di kuil-kuil) boleh dimakan oleh orang
Kristen. Sebagian orang Kristen mengatakan “boleh” namun sebagian lagi
mengatakan “tidak”. Rasul paulus memberi nasihat yang sangat bijak. *Makanan
tidak mendekatkan atau Menjauhkan kita dari Tuhan. (l Kor 8:1-11). Keadaan Yang
mirip juga terjadi di gereja Roma: apakah orang Kristen boleh memakan
segalanya. (1 kor 14:15) Rasul Paulus memberi nasihat “Kerajaan Allah bukan
soal makanan atau minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita
oleh Roh Kudus” (l Kor14:17). Kita boleh menarik analogi dari ayat-ayat ini
untuk persoalan tortor dan gondang dan juga ulos. Benar bahwa tortor dan gondang dahulu dipakai
untuk penyembahan berhala, namun sekarang kita pakai untuk memuliakan Allah
Bapa, Anak dan Roh kudus. Selanjutnya
kita sadar bahwa kekristenan bukanlah soal makanan, minuman, jenis
tekstil atau musik, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita Roh
Kudus.
Nasi sangsang atau roti selai tidak ada
bedanya di hadapan Tuhan, Tenunan ulos batak, dengan batik jawa atau brokat
prancis sama saja nilainya dihadapan Kristus. Taganing (gondang, atau gondrang),
orgel adalah sama-sama alat yang tidak bernyawa dan netral. Keduanya dapat
dipakai untuk memuliakan Allah.
Persoalan
sesungguhnya adalah: bagaimana sesungguhnya hubungan iman Kristen dan budaya.
Dalam Matius 5:13-16 Tuhan Yesus menyuruh orang Kristen untuk menggarami dan
menerangi dunia. Itu artinya Tuhan Yesus menyuruh kita mempengaruhi, mewarnai,
merasuki memperbaiki realitas social, konomi, politik dan budaya yang ada. Itu
artinya sebagai orang Kristen kita dipanggil bukan untuk menjauhkan diri atau
memusuhi budaya (tortor, gondang dan ulos dll) namun untuk menggarami dan
meneranginya dengan firman Tuhan, kasih dan kebenaranNya. Bukan membakar ulos
tetapi memberinya makna baru yang kristiani. Namun sebaliknya kita juga
diingatkan agar tidak terhisab atau tunduk begitu saja kepada tuntutan budaya
itu. Agar dapat menggarami dan menerangi budaya (tortor. gondang dan ulos dll)
kita tidak bersikap ekstrim: baik menolak atau menerima secara absolut dan
total. Kita sadar sebagai orang Kristen, kita hanya tunduk secara absolute
kepada Kristus dan bukan kepada budaya. Sebaliknya
kita juga sadar bahwa sebagai orang Kristen (di dunia) kita tidak dapat
mengasingkan diri dari budaya. Lantas
bagaimana? Disinilah pentingnya sikap kreatif dan kritis dalam menilai hubungan
iman Kristen dan budaya batak itu, termasuk tortor dan gondang serta ulos. Mana
yang baik dan mana yang buruk? Mana yang harus dipertahankan (dilestarikan) dan mana yang harus di ubah? Mana yang relevan
dengan kekristenan, dan yang tidak relevan dengan kekristenan?
Kita
mengakui dengan jujur bahwa sebelum datangnya kekristenan tortor dan gondang
adalah sarana untuk meminta kesuburan (sawah, ternak. dan manusia). menolak
bala dan atau menghormati dewa-dewa dan roh nenek moyang. Bagi kita orang
Kristen tortor dan gondang bukanlah sarana membujuk Tuhan Allah agar menurunkan
berkatNya, namun salah satu cara kita mengekspressikan atau menyatakan syukur
dan sukacita kita kepada Allah Bapa yang kita kenal dalam Yesus Kristus dan
membangun persekutuan sesama kita.Selanjutnya sebelum datangnya kekristenan
gondang dianggap sebagai reflector atau yang memantulkan permintaan warga
kepada dewa-dewa. Bagi kita yang beriman Kristen, gondang itu hanyalah alat
musik belaka dan para pemainnya hanyalah manusia fana ciptaan Allah. Kita dapat
menyampaikan syukur atau permohonan kita kepada Allah bapa tanpa perantara atau
reflektor kecuali Tuhan Yesus Kristus. Dahulu bagi nenek moyang kita sebelum
kekristenan, tortor dan gondang sangat terikat kepada aturan-aturan pra-Kristen
yang membelenggu: misalnya wanita yang tidak dikaruniai anak tidak boleh
manortor dengan membuka tangan. Bagi kita yang beriman Kristen sekarang, tentu
saja semua orang boleh bersyukur dan bersukacita di hadapan Tuhannya termasuk
orang yang belum atau tidak menikah, memiliki anak, belum atau tidak memiliki
anak, belum atau tidak memiliki anak laki-laki. Semua manusia berharga
dihadapan Tuhan dan telah ditebusNya dengan darah Kristus yang suci dan tak
bernoda (1 pet 1:19).
Bahan Bacaan:
1.
Lothar Schreiner, Adat dan Injil:
Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak, BPK-GM, Jakarta 2003
2.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga),
Balai Pustaka, Jakarta 2005
3.
Mangapul Sagala, Injil dan Adat
Batak, Yayasan Bina Dunia, Jakarta 2008
4.
Richard Niebuhr, Kristus dan
Kebudayaan, Petra Jaya, Jakarta 1995
5.
_______, Ensiklopedi Umum,
Yayasan Kanisius, Yogyakarta 1973
6.
R. Van Dijk, Pengantar Hukum Adat
Indonesia, Vorkink - Van Hoeve, Bandung
7.
John B. Pasaribu, Adat Batak:
Saluran Kasih Sesama Umat Manusia, Yayasan Borbor, Jakarta 2003
8.
I. Simanjuntak, “Pesta Adat Di
Kalangan Suku Batak Toba yang Beragama Kristen“, dalam: Pemikiran
tentang Batak (Editor: B.A. Simanjuntak), Universitas HKBP Nommensen, Medan
1986
9.
J. Verkuyl, Etika Kristen dan
Kebudayaan, BPK-GM, Jakarta, 1960
10. E.H. Tambunan, Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba
dan Kebudayaannya, Tarsito, Bandung 1982
11. Bnd. A. Ginting Suka, Hubungan Agama dan Budaya dalam
Kristen Protestan dalam www.bergaul.com/pages/dump/getfile.php?id=15075, dikunjungi tanggal 2 Mei 2012.
Trimakasih banyak.....mohon ijin untuk di share ya....GBU
BalasHapusterima kasih banyak ini sanngat membantu saya
BalasHapusTerima kasih sangat membantu saya dalam ujian saya. God Bless
BalasHapusTerima kasih untuk ulasannya.
BalasHapusApakah ada ulasan mengenai ayat alkitab yg dimaksud dalam Markus 7:7 mengenai adat istiadat?
thanks infonya GBU
BalasHapusthanks infonya GBU
BalasHapusterima kasih atas infonya.GBU
BalasHapusthannks buat infonya
BalasHapusTerima kasih banyak ini sangaaattt membantu.
BalasHapusHow to Get to Borgata by Bus - Lucky Club Live
BalasHapusDirections to Borgata by Bus (L) with public transportation. The following transit lines have routes that pass near or Am I allowed to travel from Borgata by Bus?How long does it take to get to Borgata by Bus? luckyclub.live